Sabtu, 29 Januari 2011

Sepenggal Cerita Dari Sang Pecundang (2)


“Oh ya, puaskan aku dengan penismu, isi mulutku lagi dengan spermamu. Lebih keras Budi, berikan yang aku mau, lebih keras lagi bangsat!!” Belum pernah kudengar dia berkata seperti ini sebelumnya.
“Ya jalang, milik siapa vagina lezat ini?”
“Oh milikmu Budi, semuanya milikmu sayang.” 

Setiap kata yang terucap seakan sebilah belati yang menghunjam ke hatiku, merobeknya menjadi berkeping-keping seiring pinggul istriku bergoyang mengiringi hentakan lelaki ini dengan gairah yang belum pernah kulihat darinya. Sebuah pemikiran melintas dalam benakku, aku senang, senang karena sampai dengan saat ini kami belum mempunyai seorang anak yang akan menemukan bahwa ibunya adalah seorang pelacur! 

“Siapa yang dapat memuaskanmu, siapa yang mampu memenuhi keinginanmu?”
“Kamu Budi, hanya kamu yang bisa memberiku!” 

Apa yang harus kulakukan, pergi, tetap di sini, melabrak mereka, atau hanya menghajar lelaki ini? Tak kulakukan apa pun, selain hanya melihat. Mungkin jika aku lebih dari seorang pria, atau setidaknya lebih dari seorang pria yang tega, aku akan melakukan sesuatu daripada hanya berdiri saja di sini. Seharusnya kulabrak mereka, menghajar mereka berdua, atau apa pun, tapi aku hanya menyaksikan perbuatan mereka dengan hati yang hancur berkeping-keping. 

Nafsu istriku begitu besar dan lelaki itu memuaskannya, mereka bersetubuh seperti sepasang binatang di atas ranjang cinta kami. Bed covernya sudah sangat kusut seperti kedua pakaian mereka yang tercampak di lantai dalam pergulatan birahi mereka berdua. Kusaksikan batang penisnya yang keras ditarik hampir keluar seluruhnya dan dilesakkannya kembali dengan hentakan yang mampu membuat pinggul istriku terangkat dengan kedua pahanya yang terpentang lebar untuk menerima seluruh batang keras milik lelaki itu ke dalam vaginanya. 

“Puaskan aku sayang, berikan penismu padaku. Jangan coba berhenti, jangan pernah berhenti!”
Kembali mereka berciuman dengan begitu bernafsu. Pinggul mereka saling menghantam berulang kali. Mereka tak menyadari kehadiranku di belakang mereka yang sebenarnya bahkan hanya dengan menolehkan kepalanya saja mereka akan dapat melihatku yang sedang berdiri mengintip dari balik pintu. Tapi mereka sedang sibuk dengan kegiatannya yang lebih penting sekarang, pendakian untuk sebuah orgasme lagi.
Sudah cukup apa yang kusaksikan, lebih dari apa yang ingin kulihat. Aku bebalik dan keluar dari rumah. Kukendarai mobil di bawah sinar mentari yang cerah sampai mataku terbakar, dari sinar mentari dan dari air mata. Kejadian yang baru saja kusaksikan berputar dalam benakku. 

Aku berhenti pada sebuah kafe dan memesan segelas minuman yang paling keras. Kutatap jam di dinding hingga jarum jam menunjukkan pukul 7 malam, kembali ke mobilku dan pulang ke rumah kami, jika masih bisa disebut rumah kami sekarang. 

Baru saja aku masuk ke dalam, aku langsung bertemu dengan Erni, dia hendak mencium bibirku, tapi kulengoskan mukaku. 

“Ada yang salah, sayang?” tanyanya.
“Nggak, hanya capai saja!” 

Kami melangkah ke meja makan dan saling berbincang sebentar, aku lebih pendiam daripada biasanya, dan dia berlagak seolah tak ada apa pun yang terjadi hari ini. Kuselesaikan makan malamku dan beranjak untuk mandi, berharap aku mampu mencuci ingatan mengerikan tentang istriku yang berselingkuh dengan lelaki lain dari benakku, tapi itu tak terjadi. 

Aku naik ke pembaringan, tak dapat tidur dengan nyenyak karena ingatan akan istriku yang bertingkah seperti seorang pelacur yang haus akan batang penis sedang memuaskan lelaki bangsat yang bernama Budi. Memberinya apa yang seharusnya hanya untukku. Rasanya jarum jam tak akan pernah beranjak ke pukul 6 pagi agar aku dapat pergi dari sini dan merenung. 

***** 

Hari ini seakan berlalu dengan sangat lambat, akhirnya jam 11 siang tiba. Kukendarai mobilku dan kembali ke rumah. Kembali kulihat mobil Budi terparkir di depan rumah. Kemarahanku sekarang sudah melampaui batasnya. Dengan tergesa aku mesuk ke dalam rumah dan menemukan mereka berdua sedang bergulat di atas ranjang kami lagi. Dengan marah kuteriakkan padanya agar menjauh dari istriku dan mengusirnya keluar dari rumahku. Budi hanya tertawa dan dengan batang penis yang masih berlumuran dengan cairan istriku, dia mengenakan pakaiannya, sedangkan Erni berusaha untuk menjelaskan semuanya. Tak ada satu pun kata-kata yang ingin kudengar dari mulutnya. 

Setelah Budi pergi, kemudian Erni menemuiku di meja makan.
“Erni, kenapa kamu lakukan semua ini? Apa yang terjadi?”
“Penyebabnya kamu! Kamu nggak pernah ada, kamu nggak pernah memperhatikanku, mengajakku keluar. Yang kamu lakukan hanya kerja, kerja, kerja! Persetan dengan semua itu. Aku menginginkan lebih dari itu dan Budi memberinya.”
“Aku dapat memberimu lebih Erni, Aku akan memaafkanmu jika kamu menghentikan semua kegilaan ini. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu!” Dia memandang tajam ke arahku.
“Kamu boleh berkata sesukamu, aku tidak peduli. Kenyataannya kamu membuatku muak, kamu bukan seorang lelaki. Seorang lelaki akan membunuh pria yang berselingkuh dengan istrinya, tetapi kamu bahkan tak melakukan apa-apa. Kamu pecundang!”
“Tolong jangan lakukan ini Erni, kamu tahu betapa aku mencintaimu.”
“Persetan dengan kamu!” dia meneriakiku, lalu menelepon Budi.
“Budi, jemput aku, sekarang juga!” dan membanting teleponnya.
Dia masuk ke dalam kamar dan tak lama kemudian keluar dengan membawa koper, lalu pergi untuk menunggu jemputan Budi. Lelaki bangsat ini datang tak lama berselang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar